Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Uang Rakyat, Dompet Para Wakil

Komprehensif
18 Agu 2025, 20:11 WIB Last Updated 2025-08-18T13:11:57Z

Karikatur satir wakil rakyat bergaya Tempo, duduk di kursi dengan ekspresi congkak, dikelilingi tumpukan uang sebagai sindiran gaji jumbo DPR.
Ilustrasi

 Di negeri ini, kata “pengabdian” sudah lama diganti dengan tanda terima transfer. Jika dulu kursi wakil rakyat adalah panggung untuk berteriak lantang membela kepentingan publik, kini ia lebih mirip sofa empuk di ruang keluarga: nyaman, wangi, dan hangat… terutama hangatnya saldo rekening.


Angka Rp100 juta lebih sebulan bukan sekadar gaji—itu sudah sekelas premi loyalitas dalam sebuah drama politik. Ironisnya, rakyat disuruh percaya bahwa semua itu hanyalah “kompensasi rumah dinas.” Konon, karena istana kecil mereka dikembalikan ke negara, maka lembaran-lembaran merah harus dikembalikan ke kantong pribadi. Sebuah barter absurd: rumah kosong ditukar dengan rumah-rumahan uang.


Lucunya, dari balik mikrofon gedung parlemen, ada yang dengan enteng berkata: “So what?” Seolah-olah rakyat hanyalah audiens yang harus maklum bila badut sirkus politik menambah biaya tiket masuk. Padahal di luar pagar megah itu, harga beras bisa naik lebih cepat dari doa orang miskin, dan listrik yang disubsidi lebih sering padam ketimbang menyala.


Aturan gaji pokok yang konon hanya Rp4-5 juta itu sebenarnya lebih mirip kamuflase hukum ketimbang realitas. Sebab di baliknya, ada parade tunjangan yang jumlahnya bisa membuat direktur perusahaan meneteskan air liur. Tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi, tunjangan pengawasan, hingga tunjangan telepon yang nilainya setara biaya hidup satu keluarga buruh sebulan. Bahkan listrik pun masih ditanggung rakyat. Pertanyaannya: jika wakil rakyat masih harus disubsidi untuk menyalakan lampu dan mengangkat telepon, apa sesungguhnya yang mereka wakili?


Narasi “pengorbanan” para legislator terdengar semakin konyol bila dibandingkan dengan kenyataan di jalan. Di saat rakyat berkeringat menambal dompet bolong akibat inflasi, para penguasa legislatif sibuk menambal perabot rumah mereka dengan uang negara. Katanya, tak ada kenaikan gaji. Benar, mungkin bukan gaji—tapi siapa peduli label kalau isi amplopnya tetap menebal?


Beginilah republik sandiwara berjalan: rakyat digiring percaya bahwa pengabdian itu mahal, bahwa kursi kekuasaan memang layak dibayar setara seratus kali gaji kuli bangunan. Dan bila ada yang bertanya, jawabannya sederhana: so what?


(mis)

Iklan

iklan