![]() |
Ilustrasi |
Di sebuah kampung yang namanya lebih baik kita kuburkan, tampil seorang tokoh yang rakusnya mengalahkan tikus di lumbung padi. Hari ini ia mengatur kas kampung, besok ia sudah menunggu SK mimbar, lusa ia hendak duduk di singgasana pemimpin. Seakan seluruh struktur kampung hanyalah papan catur, dan ia satu-satunya pemain yang berhak memindah-mindahkan bidak sesuka hati.
Dialah Sang Raja Kecil—seorang aparat yang tak pernah puas. Kursi baginya bukan amanah, melainkan kue ulang tahun yang harus ia lahap sendirian. Bendahara? Sudah. Imam? Sedang antre SK. Pemimpin kampung? Tinggal menunggu waktu. Kalau ada jabatan “Penguasa Tunggal”, mungkin ia sudah menyiapkan baliho dengan wajahnya tersenyum lebar, ditempel di setiap pohon kelapa.
Ironi meledak ketika ia, masih sibuk memegang kas kampung, nekat mendaftar sebagai penjaga mimbar. Padahal mimbar mestinya tempat menebar tuntunan, bukan pijakan politik. Tapi bagi Sang Raja Kecil, mimbar hanyalah ruang tunggu menuju kursi lebih empuk. Ia bahkan tak segan menyingkirkan kawan sendiri hanya gara-gara persoalan sepele: honor mimbar.
Calon pemimpin yang dulu ia dorong, tiba-tiba jadi musuh bebuyutan. Pasalnya, si calon berani membuka mulut soal bayaran imam: jangan lagi ambil dari hasil wakaf, tapi jadikan gaji tetap. Ucapan itu rupanya lebih berbahaya daripada petir, langsung membuat Sang Raja Kecil berubah wujud dari sahabat menjadi algojo.
Lalu keluar jurus sakti: pasal domisili tiga tahun. Aturan yang dulunya ia simpan di saku, kini diangkat tinggi-tinggi seperti kitab wahyu. Si calon langsung ditendang keluar gelanggang. Demokrasi kampung pun ambruk, bukan karena rakyat tak mau memilih, tapi karena ada seorang pengganda kursi yang takut kehilangan panggung.
Akibatnya, pemilihan pemimpin kampung batal. Warga kebingungan, kampung kembali ke titik nol. Tapi Sang Raja Kecil tersenyum. Ia tak peduli pemilihan ditunda, asalkan jalannya bersih dari lawan. Begitulah politik murahan ala kampung: demokrasi bisa dibatalkan hanya karena satu orang ingin menimbun jabatan.
Warga mulai muak. Mereka tahu, di balik mimbar, Sang Raja Kecil sedang menulis dongeng tentang dirinya: imam sekaligus bendahara, sekaligus calon raja kecil. Tapi rakyat juga tahu, dongeng itu lebih mirip cerita serakah ketimbang kisah kepemimpinan.
Jika di ibu kota para elit berebut kursi menteri, di kampung ini seorang aparat berebut mimbar. Sama-sama menghalalkan aturan sebagai senjata, sama-sama menyingkirkan kawan demi ambisi. Bedanya, satu dimainkan di gedung ber-AC, satu lagi di meunasah berlantai semen. Tapi bau busuknya sama.
Kampung tak butuh raja kecil yang bernafsu jadi segalanya. Kampung butuh pemimpin yang tahu diri, tahu malu, dan tahu berhenti. Karena ketika seorang aparat berubah menjadi “raja kecil di balik mimbar”, rakyat hanya bisa menonton sambil berbisik getir: “Kursi bagi dia lebih suci daripada sajadah.”
(mis)