Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Potong di Meja, Lapar di Desa

Komprehensif
16 Agu 2025, 14:16 WIB Last Updated 2025-08-16T07:16:45Z

Karikatur pejabat memotong kertas “Dana Desa” dengan gunting di meja, rakyat desa kurus menunggu dengan piring kosong — satire politik tentang pemotongan dana desa.
Ilustrasi

 Meja birokrasi selalu rapi. Di atasnya tersusun kertas, angka, dan istilah teknokratis yang terdengar aman di telinga: penyesuaian proporsional. Begitu manis bunyinya, seolah yang dipotong hanyalah angka-angka abstrak. Padahal setiap goresan pena di meja itu menjelma jadi lauk yang hilang di piring rakyat.


Pejabat berdasi dengan wajah sejuk cepat-cepat menepis tuduhan. “Bukan pemotongan, hanya penyesuaian,” katanya, sembari menuding pusat. Seolah dirinya sekadar pelayan yang menyajikan potongan itu ke desa, bukan koki yang ikut meracik resep pahit. Tapi di kampung, rakyat tak pernah makan klarifikasi. Yang mereka telan hanyalah janji yang makin hambar.


Laporan resmi berkilau dengan angka: 92,28 persen pencairan tahap pertama. Bagai bendera kemenangan, angka itu dikibarkan di podium. Namun di dusun, perangkat desa masih berutang, keuchik jadi tukang kredit musiman, dan rakyat menunggu uang yang datang secepat kura-kura kepanasan. Yang cair justru keringat, bukan dana.


Birokrasi pun punya alasan sakti: Siskeudes, Omspan, SIKD. Nama-nama aplikasi itu dipuja bagai dewa penahan hujan. “Belum sinkron,” kata mereka, seolah perut keroncongan bisa menunggu update sistem. Ironi pun semakin pekat: bayi stunting tak pernah diberi pilihan tombol refresh.


Program besar diumumkan: BLT, pangan, rumah layak huni. Indah terdengar, tapi di desa, genteng masih bocor, panci masih kosong. Kata-kata itu tak lebih dari hiasan di spanduk murahan. Janji rumah layak huni kerap berhenti di papan proyek, sementara rakyat tetap tidur di gubuk yang dindingnya tembus angin malam.


Di atas meja, kata “potong” dihapus dan diganti dengan istilah yang lebih halus. Tapi di bawah, di desa yang jauh dari rapat-rapat resmi, “potong” berarti beras berkurang, lauk tak jadi, dan utang bertambah. Kata bisa disulap, tapi lapar tak bisa dibohongi.


Karena itulah, selagi mereka sibuk menata istilah di meja, di desa hanya ada satu kata yang tersisa: lapar.


(mis)

Iklan

iklan