![]() |
Ilustrasi |
Di republik ini, trotoar bukan lagi jalur pejalan kaki, melainkan museum gratis untuk memamerkan kendaraan pribadi. Bahkan kendaraan pejabat pun parkir di sembarang tempat seperti raja kampung yang menancapkan bendera di tanah tak bertuan. Aturan parkir resmi hanya seperti ayat kitab kuno—dibaca dengan khidmat di rapat, lalu dilipat rapi dan disimpan di lemari arsip bersama fosil janji politik.
Operasi penertiban datang sesekali, mirip pesta rakyat: ada seragam gagah, ada peluit nyaring, ada mobil patroli berpose di depan kamera. Tapi semua itu hanya seindah kembang api tahun baru—terang sebentar, lalu hilang ditelan gelap. Besok paginya, parkir liar kembali mengisi jalan, seperti lumut yang tumbuh di batu basah, kebal disikat, kebal disemprot.
Lalu, di sudut kota, muncul raja hiburan jalanan: odong-odong. Bentuknya seperti perpaduan kereta karnaval, gerobak festival, dan truk pemanggil badai. Musiknya menghantam gendang telinga seperti perang saudara akustik. Mereka mangkal di depan rumah sakit, membuat pasien demam menari tanpa izin, dan di samping masjid, menguji kesabaran jamaah yang sedang sujud.
Pemerintah punya jurus pamungkas: relokasi—mantra yang diucapkan dengan penuh wibawa, seolah memindahkan masalah sama artinya dengan memecahkannya. Odong-odong pun dipindah, disambut upacara simbolis, bahkan dipeusijuk seperti pejabat baru. Tapi beberapa minggu kemudian, mereka kembali lagi, seperti mantan pacar toxic yang selalu tahu cara mengetuk pintu.
Pejabat pusat sudah bersabda: odong-odong di jalan raya itu dosa besar terhadap keselamatan. Tapi di republik ini, keselamatan hanyalah jargon di spanduk lusuh yang dipasang miring di pinggir jalan. Kita lebih suka menunggu tabrakan, melayat, lalu menyalahkan nasib. Sampai saat itu tiba, odong-odong akan terus melenggang di jalur umum, parkir liar akan terus berkembang biak, dan aparat akan sibuk memamerkan hasil rapat koordinasi sebagai trofi imajiner.
Mungkin, seratus tahun dari sekarang, anak-anak sekolah akan belajar bahwa parkir liar dan odong-odong adalah bagian dari identitas nasional. Mereka akan membuat maket trotoar penuh motor dan menulis esai tentang kebebasan musik dangdut di ruang publik. Dan di pojok halaman buku sejarah, akan ada catatan kecil: “Inilah bangsa yang berhasil mengubah kemacetan, kebisingan, dan pembiaran menjadi tiga pilar kejayaan negara.”
(mis)