![]() |
Ilustrasi |
Pada suatu pagi yang lengang di sebuah kota kabupaten, sekelompok wartawan lokal berkumpul di sebuah gedung tua yang catnya sudah mulai mengelupas. Mereka datang bukan untuk sekadar kongko atau mengisi daftar hadir acara seremonial, melainkan untuk mengadu. Di hadapan pejabat setempat, mereka membawa segumpal keresahan: sebuah peraturan bupati yang berdiri pongah, bernama manis, namun berfungsi sebagai gunting yang siap menebas lidah pers yang dianggap tak patuh.
Konon, peraturan itu disusun dengan alasan mulia: menertibkan kerja sama media, agar informasi tentang pembangunan daerah tersampaikan dengan rapi. Tapi di balik wajah manis bahasa hukum, ada syarat ganjil yang terasa seperti jebakan. Hanya media yang sudah mendapat cap resmi dari lembaga pusat yang boleh ikut menyebarkan informasi. Sisanya, media lokal yang tumbuh dengan keringat sendiri, dianggap suara serak yang tak layak masuk ke ruang publik.
Karet Bernama Regulasi
Pasal itu berbunyi dingin, seperti mantra birokrasi: media harus berbadan hukum dan diverifikasi. Sekilas, terdengar masuk akal. Tapi, bila dicermati, ia bekerja bak karet elastis yang bisa ditarik sepanjang selera penguasa. Undang-undang pers nasional tidak pernah memerintahkan syarat semacam itu. Namun, para pejabat daerah justru mencomot standar yang tak wajib, lalu menjadikannya palu pemukul.
Bayangkan, jika sebuah warung kopi di kampung diminta bersertifikat internasional hanya untuk bisa menjual secangkir kopi pahit. Begitulah kira-kira posisi media lokal. Mereka mungkin kecil, tapi merekalah yang pertama kali mengendus bau busuk di lorong birokrasi. Merekalah yang rajin menulis tentang jalan berlubang, sekolah ambruk, atau pungutan liar di desa. Namun di mata penguasa, suara itu dianggap seperti nyanyian jangkrik di malam hari: bising, tapi tak berguna.
Telinga yang Penuh Kapas
Ironi terbesar justru terungkap ketika seorang anggota legislatif yang sudah enam tahun duduk di kursi empuk dengan gagah berani mengaku… baru tahu ada peraturan ini. Enam tahun, dan ia tidak pernah membaca satu pasal pun dari peraturan yang memengaruhi kerja pers di daerahnya. Apakah selama ini ia sibuk tidur dengan mata terbuka? Ataukah telinganya ditutup kapas tebal sehingga hanya bisa mendengar tepuk tangan saat acara peresmian proyek?
Fakta ini menyodorkan dua kemungkinan yang sama pahitnya: pemerintah memang tak pernah terbuka pada legislatif, atau para wakil rakyat itu memang lebih suka menjadi wayang yang geraknya ditentukan dalang eksekutif. Transparansi, dalam praktik, hanya jargon yang dicetak di spanduk. Di lapangan, ia menjelma jadi kaca buram yang memantulkan bayangan samar, sekadar ilusi keterbukaan.
Janji “Akan”
Ketika para wartawan mengadu, pejabat menjawab dengan kalimat yang sudah usang: akan mengevaluasi, akan merevisi, akan mengundang rapat. Kata “akan” itu bagaikan mata uang cadangan yang tak pernah kehilangan nilainya. Dari periode ke periode, ia selalu dipakai. Ia tak pernah mengalami inflasi karena memang tak pernah diuangkan. Rakyat menunggu, media menunggu, tapi “akan” tetap berdiri kokoh, seperti monumen janji kosong di tengah alun-alun kota.
Dalam budaya politik kita, kata “akan” adalah pelarian elegan. Ia membuat pejabat terdengar bijak tanpa harus melakukan apa-apa. Seperti pelayan restoran yang menjawab pesanan pelanggan dengan senyum manis: “sebentar lagi, Pak.” Padahal koki di dapur bahkan belum mulai menyalakan kompor.
Media Lokal: Anak Tiri Demokrasi
Di tengah kerumitan aturan ini, yang paling terjepit adalah media lokal. Mereka bukan bagian dari konglomerasi media nasional. Mereka tidak punya modal besar, tidak punya koneksi ke meja kekuasaan di ibu kota. Mereka berdiri dari tekad para jurnalis daerah, seringkali hanya berbekal laptop usang dan motor kredit. Namun, justru dari mereka publik mendapatkan berita pertama soal jalan amblas, proyek mangkrak, atau pasien terlantar di rumah sakit daerah.
Sayangnya, di mata penguasa, media seperti itu diperlakukan bak anak tiri. Bila ada prestasi, mereka diabaikan. Bila ada kritik, mereka dituduh cari makan. Dan kini, dengan peraturan baru, mereka bahkan hendak dipotong lidahnya.
Cermin vs Kaca Pembesar
Penguasa daerah tampaknya hanya mau media berperan sebagai cermin besar: memantulkan wajah gagah, menyanjung pidato, dan membingkai janji pembangunan. Mereka enggan melihat media berfungsi sebagai kaca pembesar yang menyorot debu di kerah baju, atau bahkan bercak noda di balik jas resmi.
Seperti aktor yang hanya suka difoto dari sisi terbaiknya, pejabat daerah ingin media tampil sebagai fotografer resmi, bukan paparazi yang membongkar aib. Maka dibuatlah peraturan yang, dengan gaya halus, mengatur siapa boleh bicara dan siapa harus diam.
Sandiwara Demokrasi
Di panggung politik lokal, drama revisi peraturan ini hanyalah episode lama dengan kostum baru. Pemerintah pura-pura mendengar, wartawan pura-pura percaya, rakyat pura-pura paham. Semua memainkan peran dalam sandiwara demokrasi. Lakonnya jelas: kebebasan pers dibiarkan hidup, tapi dikekang tali tipis yang bisa ditarik kapan saja.
Seperti seekor burung dalam sangkar emas: diberi makan cukup, bisa berkicau setiap pagi, tapi jangan pernah bermimpi terbang jauh. Media daerah diperlakukan demikian: diberi ruang bicara sepanjang isinya pujian, tapi segera dibungkam jika mulai menyanyi terlalu keras tentang busuknya dapur kekuasaan.
Epilog di Warung Kopi
Di sebuah warung kopi pinggir jalan, cerita ini berakhir dengan tawa getir. Para wartawan senior menyesap kopi pahit sambil berbisik: “Beginilah nasib kita, jangkrik yang dianggap pengganggu tidur pejabat.” Mereka tahu, revisi mungkin akan dilakukan. Syarat mungkin dilonggarkan. Namun sejarah menunjukkan, bila penguasa sudah merasa nyaman dengan aturan yang membungkam, revisi hanya kosmetik.
Barangkali, satu-satunya yang benar-benar direvisi hanyalah kalimat di atas kertas, bukan watak kekuasaan. Sebab, sejak dulu hingga kini, penguasa lebih suka mendengar tepuk tangan daripada kritik. Mereka lebih memilih tidur nyenyak ditemani sunyi, ketimbang terbangun oleh suara bising jangkrik yang, ironisnya, justru menjaga sawah dari hama.
Maka kebebasan pers di kabupaten itu tinggal legenda. Kelak, ia hanya akan diceritakan dalam bisik-bisik generasi berikut: bahwa pernah ada masa ketika wartawan bisa menulis bebas, sebelum lidah mereka digunting oleh sebuah peraturan yang lahir dari rahim kekuasaan yang gemetar mendengar kebenaran.
(mis)