Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Petani Peudada Bireuen Bantah Isu Lahan Sawit Dikuasai Dewan

Komprehensif
17 Sep 2025, 12:12 WIB Last Updated 2025-09-17T05:12:35Z

Petani Peudada Bireuen, Murtala, menolak tudingan lahan sawit dikuasai oknum dewan
Murtala, petani kebun asal Desa Garot, Kecamatan Peudada, Bireuen, membantah isu lahan sawit di Alue Peukeuce dikuasai oknum dewan.

 Bireuen, komprehensif.id — Suara petani kecil di Kecamatan Peudada, Bireuen, Aceh, kembali menggema. Mereka menolak keras tudingan bahwa lahan sawit di kawasan Alue Peukeuce dikuasai oknum dewan. Bagi mereka, kebun itu bukan milik siapa-siapa, melainkan satu-satunya sumber nafkah.


“Kami masyarakat Peudada merasa resah dengan pemberitaan yang menyebut lahan sawit di Alue Peukeuce dikuasai oknum dewan. Tuduhan ini tidak benar. Lahan tersebut digarap langsung oleh kami, petani kecil, untuk menanam sawit, durian, pinang, pisang, dan tanaman lain. Kebun inilah yang menjadi sumber hidup keluarga kami,” kata Murtala (47), petani asal Desa Garot, Senin (15/9/2025).


Murtala menyebut, pemberitaan media yang hanya menyorot Alue Peukeuce terasa janggal. Di banyak wilayah lain, mulai Aceh Utara hingga Pidie Jaya, hutan produksi sudah lama berubah jadi kebun, namun tidak ramai diberitakan. “Apakah ada kepentingan politik di balik pemberitaan sepihak ini?” ujarnya.


Menurutnya, lahan yang kini digarap warga Peudada bukanlah hutan perawan, melainkan bekas konsesi perusahaan besar. “PT Narindu dan PT Marjaya pernah menebang kayu dalam skala besar dan mengangkut hasilnya lewat tongkang di pantai Peudada. Apa yang kami lakukan hanyalah menggarap bekas lahan mereka, bukan merusak hutan perawan seperti yang digambarkan,” tegasnya.


Selain soal lahan, Murtala juga menyinggung praktik seuneubok, yakni jasa tunjuk lahan yang sering disalahartikan sebagai jual beli tanah. Ia menilai persaingan politik lokal hingga pergantian pejabat kerap melahirkan kecemburuan dan tuduhan tak berdasar kepada petani.


“Lebih janggal lagi, di banyak tempat lain masyarakat juga membuka lahan, bahkan ada yang sempat ditangkap aparat, tapi tidak pernah ada tersangka. Lalu mengapa hanya Alue Peukeuce yang selalu dipublikasikan?” keluhnya.


Para petani berharap pemerintah tidak hanya menyaksikan polemik ini dari jauh. Mereka menuntut hadirnya solusi nyata yang bisa menyeimbangkan kebutuhan ekonomi rakyat dengan aturan kehutanan. “Jika negara benar-benar peduli, sejatinya melahirkan program pemberdayaan masyarakat petani kebun agar kami tidak lagi merintih dan menjerit di balik sekarat ekonomi, hanya demi menyambung hidup tanpa harus bergelut di hutan belantara,” pungkas Murtala.


Masyarakat Peudada juga berharap Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Aceh mengambil langkah bijak. Petani memahami pentingnya menjaga lingkungan, tapi mereka juga butuh ruang hidup yang adil. “Sementara masyarakat petani menggantungkan hajat hidup dari kebun. Untuk itu, upaya pendekatan dialog dan pemberdayaan tetap menjadi alternatif solusi melalui program prioritas pemerintah,” ujarnya lagi.


Menurut Murtala, pemerintah daerah bisa membuka jalan keluar dengan program produktif, mulai dari pengembangan perkebunan rakyat, bantuan bibit unggul, hingga akses koperasi. “Tujuannya agar masyarakat tetap bisa sejahtera tanpa harus berhadapan dengan persoalan hukum,” tambahnya.


Kisah petani Peudada menyingkap dilema klasik antara kebutuhan ekonomi rakyat dan regulasi kehutanan. Sorotan media, kata mereka, semestinya tak berhenti pada stigma, melainkan menjadi pintu lahirnya solusi berkeadilan bagi masyarakat kecil. (ti/red)

Iklan

iklan